Sabtu, 04 Oktober 2014

وَقَضَى رَبُّكَ أَلاَّ تَعْبُدُوا إِلآ إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا


Mendulang keteladanan Ummu Ismail sebagai
RAHMAT ALLAH BAGI UMAT MUHAMMAD DENGAN DUA HARI RAYA 
-----------------------------------------------------------------------------------------
Dari Anas Radliallahu 'anhu ia berkata : "Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam datang ke Madinah sedang penduduknya memiliki dua hari raya dimana mereka bersenang-senang di dalamnya di masa jahiliyah. Maka beliau bersabda :
"Artinya : Aku datang pada kalian sedang kalian memiliki dua hari yang kalian besenang-senang di dalamnya pada masa  jahiliyah. Sungguh Allah telah menggantikan untuk kalian yang lebih baik dari dua hari itu yaitu : hari Raya Kurban dan hari Idul Fithri".  (Hadits Shahih, dikeluarkan oleh Ahmad (3/103,178,235), Abu Daud (1134), An-Nasa'i (3/179) dan Al-Baghawi (1098).

Berkata Syaikh Ahmad Abdurrahman Al-Banna :

"Maksudnya : Karena hari Idul Fihtri dan hari raya Kurban ditetapkan oleh Allah Ta'ala, merupakan pilihan Allah untuk mahluk-Nya dan karena keduanya mengikuti pelaksanaan dua rukun Islam yang agung yaitu haji dan puasa. Pada dua hari tersebut, Allah mengampuni orang-orang yang melaksanakan ibadah haji dan orang-orang yang berpuasa, dan Dia menebarkan rahmat-Nya kepada seluruh mahluk-Nya yang taat. Adapun hari Nairuz dan Mahrajan merupakan pilihan para pembesar pada masa itu yang tentunya disesuaikan dengan zaman, selera dan semisalnya dari keistimewaan yang akan pudar. Maka perbedaan keistimewaan dari Idul Fithri dan Idul Adha dengan hari Nairuz dan Mahrajan sangat jelas bagi siapa yang mau memperhatikannya". [Fathur Rabbani 6/119].


Bolehnya Mendengarkan Rebana Yang Dimainkan Anak Perempuan Kecil

Dari Aisyah radliallahu 'anha, ia berkata :
"Artinya : Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam masuk menemuiku sedangkan di sisiku ada dua anak perempuan kecil yang sedang bernyanyi  dengan nyanyian Bu'ats (Bu'ats, adalah hari yang terkenal di antara hari-harinya bangsa Arab.) . Lalu beliau berbaring di tempat tidur dan memalingkan wajahnya. Masuklah Abu Bakar, lalu dia menghardikku dan berkata : 'Seruling syaitan di sisi Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam !?' Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam kemudian menghadap ke Abu Bakar seraya berkata :'Biarkan kedua anak perempuan itu'. Ketika beliau tidur, aku memberi isyarat dengan mata kepada dua anak itu maka merekapun keluar".
Dalam riwayat lain : Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :
"Artinya : Wahai Abu Bakar, setiap kaum memiliki hari raya, dan ini adalah hari raya kita". [Kedua hadits ini diriwayatkan oleh Bukhari 949,952,2097,3530,3931. Diriwayatkan juga oleh Muslim 892. Ahmad 6/134 dan Ibnu Majah 1898]
Imam Al-Baghawi dalam "Syarhus Sunnah" (4/322) mengatakan :

 Pada hari itu suku Aus mendapatkan kemenangan yang besar dalam peperangan dengan suku Khazraj. Peperangan antara kedua suku ini berlangsung  selama 120 tahun sampai datang Islam. Syair yang didendangkan oleh kedua anak perempuan itu berisi penggambaran (tentang) peperangan dan keberanian serta menyinggung upaya untuk membantu tegaknya perkara agama.

Adapun nyanyian yang berisi kekejian, pengakuan berbuat haram dan menampakkan kemungkaran dengan terang-terangan melalui ucapan, adalah termasuk nyanyian yang dilarang. Tidak mungkin nyanyian seperti itu yang di dendangkan di  hadapan beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam lalu dilalaikan untuk mengingkarinya.

Sabda beliau : "Ini adalah hari raya kita", beliau mengemukakan alasan dari Aisyah bahwa menampakkan kegembiraan pada dua hari raya merupakan syiar (slogan) agama ini, dan tidaklah hari raya itu seperti hari-hari lain". [Selesai ucapan Imam Al-Baghawi].

Al-Hafidh Ibnu Hajar berkata :

"Dalam hadits ini ada beberapa faedah : Disyariatkan untuk memberikan kelapangan kepada keluarga pada hari-hari raya untuk melakukan berbagai hal yang dapat menyampaikan mereka pada kesenangan jiwa dan istirahatnya tubuh dari beban ibadah. Dan sesungguhnya berpaling dari hal itu lebih utama. Dalam hadits ini juga menunjukkan bahwa menampakkan kegembiraan pada hari-hari raya merupakan syi'ar agama.


PEGARUH BAKTIMU, KEPADA ORANG TUA ! TAUHID DAN BAKTI KEPADA KEDUA ORANG TUA, DUA SAYAP YANG HARUS SALING BERSANDING

Hak kedua orang tua atas anak-anak mereka sangat agung. Karena itu, Allah menyandingkan perintah untuk beribadah kepadaNya dengan keharusan berbakti kepada mereka berdua. Allah berfirman:

وَقَضَى رَبُّكَ أَلاَّ تَعْبُدُوا إِلآ إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا
 Lantaran begitu tingginya hak mereka, Allah memerintahkan kita untuk selalu menyuguhkan kebaikan kepada mereka dan berinteraksi dengan mereka dengan sikap yang ma'ruf (pantas). Kendatipun mereka dalam kungkungan kekafiran. Sekalipun mereka memaksamu, untuk menyekutukan Allah dengan obyek yang tidak jelas kedudukannya. Allah berfirman:

وَإِن جَاهَدَاكَ عَلَى أَن تُشْرِكَ بِي مَالَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلاَ تُطِعْهُمَا وَصَاحِبْهُمَا فِي الدُّنْيَا مَعْرُوفًا

Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentangnya, maka janganlah kamu mengikuti keduanya dan pergauilah kedunya dengan baik". [Luqman: 15].

Saking besarnya martabat mereka dipandang dari kacamata syari'at, Nabi mengutamakan bakti kepada mereka atas jihad fi sabilillah. Ibnu Mas'ud berkata:

سَأَلْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّ الْعَمَلِ أَحَبُّ إِلَى اللَّهِ قَالَ الصَّلَاةُ عَلَى وَقْتِهَا قَالَ ثُمَّ أَيٌّ قَالَ بِرُّ الْوَالِدَيْنِ قَالَ ثُمَّ أَيٌّ قَالَ الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ

Aku pernah bertanya kepada Rasulullah,"Amalan apakah yang paling dicintai Allah?" Beliau menjawab,"Mendirikan shalat pada waktunya." Aku bertanya kembali,"Kemudian apa?" Jawab Beliau,"Berbakti kepada ke orang tua," lanjut Beliau. Aku bertanya lagi,"Kemudian?" Beliau menjawab,"Jihad di jalan Allah." [HR Bukhari no. 5.970].

Perlu dipahami, perintah berbakti kepada Allah merupakan titah ilahi yang sudah berlaku pada umat sebelumnya. Allah berfirman:

وَإِذْ أَخَذْنَا مِيثَاقَ بَنِى إِسْرَاءِيلَ لاَ تَعْبُدُونَ إِلاَّ اللَّهَ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَذِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ

Demikian juga Allah menyanjung para nabi karena telah berbuat baik dengan baktinya kepada orang tua. Secara khusus, Allah menyebut nama Nabi Yahya atas baktinya kepada kedua orang tuanya yang telah tua renta. Dan bakti akan bernilai lebih tinggi, tatkala dilaksanakan dalam waktu yang dibutuhkan. Masa tua dengan segala problematikanya adalah masa yang sangat membutuhkan perhatian ekstra, terutama dari orang terdekat, anak-anaknya. Allah berfirman:

وَبَرَّا بِوَالِدَيْهِ وَلَمْ يَكُنْ جَبَّارًا عَصِيًّا

Dan banyak berbakti kepada kedua orang tuanya dan bukanlah ia orang yang sombong lagi durhaka. [Maryam:14].

Begitu pula Allah memuji Nabi Isa, lantaran beliau telah melayani sang ibu dengan sepenuh hati, dan bahkan merasa mendapat kehormatan dengan sikapnya itu. Allah berfirman:

وَبَرًّا بِوَالِدَتِي وَلَمْ يَجْعَلْنِي جَبَّارًا شَقِيًّا

Dan berbakti kepada ibuku dan Dia (Allah) tidak menjadikan aku seorang yang sombong lagi celaka. [Maryam:32].

Agama Islam sangat memuliakan dan mengagungkan kedudukan kaum perempuan, dengan menyamakan mereka dengan kaum laki-laki dalam mayoritas hukum-hukum agama Islam, dalam kewajiban bertauhid kepada Allah Azza wa Jalla , menyempurnakan keimanan, dalam pahala dan siksaan, serta keumuman anjuran dan larangan dalam Islam.

Allah Azza wa Jalla berfirman:

وَمَنْ يَعْمَلْ مِنَ الصَّالِحَاتِ مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَىٰ وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَأُولَٰئِكَ يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ وَلَا يُظْلَمُونَ نَقِيرًا

Barangsiapa yang mengerjakan amal-amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan sedang dia orang yang beriman, maka mereka itu akan masuk ke dalam surga dan mereka tidak dianiaya walau sedikitpun [an-Nisâ'/4:124]

Dalam ayat lain, Allah Azza wa Jalla berfirman :

مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَىٰ وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً ۖ وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ

Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik (di dunia), dan sesungguhnya akan Kami berikan balasan kepada mereka (di akhirat) dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan. [an-Nahl/16:97]  

Sebagaimana Islam juga sangat memperhatikan hak-hak kaum perempuan, dan mensyariatkan hukum-hukum yang agung untuk menjaga dan melindungi mereka.

Syaikh Shâlih al-Fauzân –hafizhahullâh- berkata, "Wanita Muslimah memiliki kedudukan (yang agung) dalam Islam, sehingga banyak tugas (yang mulia dalam Islam) yang disandarkan kepadanya. Oleh karena itu, Nabi k selalu menyampaikan nasehat-nasehat yang khusus bagi kaum wanita , bahkan beliau  menyampaikan wasiat khusus tentang wanita dalam khutbah beliau di ‘Arafah (ketika haji wada').  Ini semua menunjukkan wajibnya memberikan perhatian kepada kaum wanita di setiap waktu… .

Berusaha Memperbaiki Diri Sendiri.

Faktor ini sangat penting, karena bagaimana mungkin seorang ibu bisa mendidik anaknya menjadi orang yang baik kalau dia sendiri tidak memiliki kebaikan tersebut dalam dirinya? Sebuah ungkapan Arab yang terkenal mengatakan:

فَاقِدُ الشَّيْءِ لا يُعْطِيْهِ

Sesuatu yang tidak punya tidak bisa memberikan apa-apa.

Maka, kebaikan dan ketakwaan seorang pendidik sangat menentukan keberhasilannya dalam mengarahkan anak didiknya kepada kebaikan. Oleh karena itu, para Ulama sangat menekankan kewajiban meneliti keadaan seorang yang akan dijadikan sebagai pendidik dalam agama.

Dalam sebuah ucapannya yang terkenal Imam Muhammad bin Sirîn rahimahullah berkata, “Sesungguhnya ilmu (yang kamu pelajari) adalah agamamu (yang akan membimbingmu mencapai ketakwaan), maka telitilah dari siapa kamu mengambil (ilmu) agamamu.”

Faktor penting inilah yang merupakan salah satu sebab utama yang menjadikan para Sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadi generasi terbaik umat ini dalam pemahaman dan pengamalan agama mereka. Bagaimana tidak? Da’i dan pendidik mereka adalah nabi yang terbaik dan manusia yang paling mulia di sisi Allah, yaitu Nabi kita Muhammad bin `Abdillâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Makna inilah yang diisyaratkan oleh Allah Azza wa Jalla dalam firman-Nya:

وَكَيْفَ تَكْفُرُونَ وَأَنْتُمْ تُتْلَىٰ عَلَيْكُمْ آيَاتُ اللَّهِ وَفِيكُمْ رَسُولُهُ

Bagaimana mungkin kalian (wahai para Sahabat Nabi), (sampai) menjadi kafir, karena ayat-ayat Allah dibacakan kepada kalian, dan Rasul-Nya pun berada di tengah-tengah kalian (sebagai pembimbing). [Ali ‘Imrân/3:101]

Contoh lain tentang peranan seorang pendidik yang baik adalah apa yang disebutkan dalam biografi salah seorang Imam besar dari kalangan tabi’in, Hasan bin Abil Hasan al-Bashri rahimahullah , ketika Khâlid bin Shafwân rahimahullah menerangkan sifat-sifat Hasan al-Bashri rahimahullah kepada Maslamah bin `Abdul Mâlik rahimahullah  dengan berkata, “Dia adalah orang yang paling sesuai antara apa yang disembunyikannya dengan apa yang ditampakkannya, paling sesuai ucapan dengan perbuatannya. Kalau dia duduk di atas suatu urusan maka diapun berdiri di atas urusan tersebut…dan seterusnya”. Setelah mendengar penjelasan tersebut Maslamah bin `Abdul Mâlik rahimahullah berkata, “Cukuplah (keteranganmu), bagaimana mungkin suatu kaum akan tersesat (dalam agama mereka) kalau orang seperti ini (sifat-sifatnya) ada di tengah-tengah mereka?”   

Oleh karena itulah, ketika seorang penceramah mengadu kepada Imam Muhammad bin Wâsi’ rahimahullah   tentang sedikitnya pengaruh nasehat yang disampaikannya dalam merubah akhlak orang-orang yang diceramahinya, maka Muhammad bin Wâsi’ rahimahullah berkata, “Wahai Fulan, menurut pandanganku, mereka ditimpa keadaan demikian (tidak terpengaruh dengan nasehat yang kamu sampaikan) tidak lain sebabnya adalah  ada pada dirimu sendiri. Sesungguhnya peringatan (nasehat) itu jika keluarnya ikhlas dari dalam hati, maka akan mudah masuk ke dalam hati orang yang mendengarnya.”

Tidak ada komentar: