Merupakan nikmat yang besar
kepada para hambaNya, yaitu Allah menjadikan waktu-waktu spesial yang penuh
dengan berkah, agar para hambaNya memanfaatkan kesempatan emas tersebut dan
berlomba-lomba meraih berkah sebanyak-banyaknya.
Berjumpa dengan bulan Ramadhan
merupakan kenikmatan yang sangat besar. Maka selayaknya seorang muslim
benar-benar merasakan dan menjiwai nikmat tersebut. Betapa banyak orang yang
terhalang dari nikmat ini, baik karena ajal telah menjemput, atau karena
ketidakmampuan beribadah sebagaimana mestinya, karena sakit atau yang lainnya,
ataupun karena mereka sesat dan masa bodoh terhadap bulan yang mulia ini. Oleh
karena itu, hendaknya seorang muslim bersyukur kepada Allah atas karuniaNya
ini. Berdoa kepadaNya agar dianugerahi kesungguhan serta semangat dalam mengisi
bulan mulia ini, yaitu dengan ibadah dan dzikir kepadaNya.
Yang menyedihkan, banyak orang
tidak mengerti kemuliaan bulan suci ini. Tidak menjadikan bulan suci ini
sebagai lahan untuk memanen pahala dari Allah dengan memperbanyak beribadah,
bersedekah dan membaca Al Qur`an. Namun bulan yang agung ini, mereka jadikan
musim menyediakan dan menyantap aneka ragam makanan dan minuman, menyibukkan
kaum ibu terus berkutat dengan dapur. Sebagian yang lain ada yang memanfaatkan
bulan mulia ini hanya dengan bergadang dan ngobrol hingga pagi, kemudian pada
siang harinya dipenuhi dengan mimpi-mimpi. Bahkan ada yang terlambat untuk
shalat berjamaah di masjid. Ataupun tatkala shalat di masjid, ia berangan-angan
agar sang imam segera salam. Sebagian yang lain ada yang mengenal bulan suci
ini sebagai musim untuk mengeruk duit sebanyak-banyaknya. Lowongan-lowongan
pekerjaan ditelusurinya sebagai upaya memperoleh kesempatan mengeruk dunia [1].
Sebagian yang lain sangat giat berjual beli, stand bye di pasar dan
meninggalkan masjid. Kalaupun shalat di masjid, mereka shalat dalam keadaan
terburu-buru. Wallahul musta’an…
Barangsiapa yang mengetahui
keagungan bulan suci ini, maka dia akan benar-benar rindu untuk bertemu
dengannya. Para salaf sangat merasakan keagungan bulan suci ini, sehingga
kehadirannya selalu dinanti-nanti oleh mereka. Bahkan jauh sebelumnya, mereka
telah mempersiapkan perjumpaan itu.
Mu’alla bin Al Fadhl
berkata,”Mereka (para salaf) berdoa kepada Allah selama enam bulan agar Allah
mempertemukan mereka dengan bulan Ramadhan … .” Pujilah Allah dan bersyukurlah
kepadaNya karena telah mempertemukan kita dengan bulan Ramadhan dalam keadaan
tentram dan damai. Renungkanlah, bagaimanakah keadaan saudara-saudara kita di
Palestina, Checnya, Afghanistan, Iraq dan negeri-negeri yang lainnya?
Bagaimanakah keadaan mereka dalam menyambut bulan suci ini? Musibah demi
musibah, derita demi derita menimpa mereka. Dengan derita dan tangisanlah
mereka menyambut bulan suci ini.
Dengan beraneka ragam makanan
kita berbuka puasa. Lantas, dengan apakah saudara-saudara kita di Somalia
berbuka puasa? Mereka terus menghadapi bencana busung lapar.
RAMADHAN ADALAH KESEMPATAN UNTUK
INSTROPEKSI DIRI
Umar Al Faruq berkata :
حَاسِبُوا أنْفُسَكُم قَبْلَ أَنْ تُحَاسَبُا وَزِنُوْهَا قَبْلَ أَنْ
تُوْزَنُوْا وَ تَزَيَّنُوا لِلعَرْضِ الأَكْبَر
Hisablah diri kalian sebelum
kalian dihisab. Timbanglah diri kalian sebelum kalian ditimbang. Dan berhiaslah
(beramal shalihlah) untuk persiapan hari ditampakkannya amalan hamba.[19]
Allah berfirman يَوْمَئِذٍ لاَ تَخْفَى مِنْكُمْ خَافِيَةٌ (Pada hari itu kalian dihadapkan (kepada Rabb kalian), tiada
sesuatupun dari keadaan kalian yang tersembunyi (bagi Allah) -Al Haqqah : 18-).
Benarlah yang diucapkan oleh Al
Faruq, sesungguhnya muhasabah diri di dunia ini, jauh lebih ringan daripada
hisab Allah pada hari akhir nanti, (yaitu) tatkala rambut anak-anak menjadi
putih. Yang menghisab adalah Allah.
Dan yang menjadi bukti otentik
adalah kitab yang sifatnya :
وَوُضِعَ الْكِتَابُ فَتَرَى
الْمُجْرِمِينَ مُشْفِقِينَ مِمَّا فِيهِ وَيَقُولُونَ يَا وَيْلَتَنَا مَالِ
هَذَا الْكِتَابِ لَا يُغَادِرُ صَغِيرَةً وَلَا كَبِيرَةً إِلَّا أَحْصَاهَا
وَوَجَدُوا مَا عَمِلُوا حَاضِرًا وَلَا يَظْلِمُ رَبُّكَ أَحَدًا
... tidak meninggalkan yang kecil
dan tidak (pula) yang besar, melainkan ia mencatat semuanya?; dan mereka dapati
apa yang telah mereka kerjakan ada (tertulis). Dan Rabb-mu tidak menganiaya
seorang juapun. (Al Kahfi : 49).
Al Hasan berkata,”Seorang mukmin
adalah pengendali dirinya. (Hendaknya) dia menghisab dirinya karena Allah. Yang
menyebabkan suatu kaum hisabnya ringan di akhirat kelak ialah, karena mereka
telah menghisab jiwa mereka di dunia. Dan yang menyebabkan beratnya hisab pada
suatu kaum pada hari kiamat kelak ialah, karena mereka mengambil perkara ini
tanpa bermuhasabah (di dunia).”
Hakikat muhasabah ialah,
menghitung dan membandingkan antara kebaikan dan keburukan. Sehingga, dengan
perbandingan ini diketahui mana dari keduanya yang terbanyak.
Ibnul Qayyim menjelaskan,”Namun,
muhasabah ini akan terasa sulit bagi orang yang tidak memiliki tiga perkara,
yaitu cahaya hikmah, berprasangka buruk kepada diri sendiri dan (kemampuan)
membedakan antara nikmat dan fitnah (istidraj).”
Pertama : Cahaya hikmah, yaitu
ilmu; yang dengannya seorang hamba bisa membedakan antara kebenaran dan
kebatilan, petunjuk dan kesesatan, manfaat dan mudharat, yang sempurna dan yang
kurang, kebaikan dan keburukan. Dengan demikian, ia bisa mengetahui tingkatan
amalan yang ringan dan yang berat, yang diterima dan yang ditolak. Semakin
terang cahaya hikmah ini pada seseorang, maka ia akan semakin tepat dalam
perhitungannya (muhasabah).
Kedua : Adapun berprasangka buruk
kepada diri sendiri sangat dibutuhkan (dalam muhasabah). Karena berbaik sangka
kepada jiwa, dapat menghambat kepada sempurnanya pemeriksaan jiwa; sehingga
bisa jadi, ia akan memandang kejelekan-kejelekannya menjadi kebaikan, dan
(sebaliknya) memandang aibnya sebagai suatu kesempurnaan. Dan tidaklah
berprasangka buruk kepada dirinya, kecuali orang yang mengenal dirinya.
Barangsiapa yang berbaik sangka kepada jiwanya, maka ia adalah orang yang
paling bodoh tentang dirinya sendiri.
Ketiga : Adapun (kemampuan)
membedakan antara nikmat dan fitnah, yaitu untuk membedakan antara kenikmatan
yang Allah anugerahkan kepadanya -berupa kebaikanNya dan kasih-sayangNya, yang
dengannya ia bisa meraih kebahagiaan abadi- dengan kenikmatan yang merupakan
istidraj dari Allah. Betapa banyak orang yang terfitnah dengan diberi
kenikmatan (dibiarkan tenggelam dalam kenikmatan, sehingga semakin jauh
tersesat dari jalan Allah, Pen), sedangkan ia tidak menyadari hal itu.
Mereka terfitnah dengan pujian
orang-orang bodoh, tertipu dengan kebutuhannya yang selalu terpenuhi dan aibnya
yang selalu ditutup oleh Allah. Kebanyakan manusia menjadikan tiga perkara
(pujian manusia, terpenuhinya kebutuhan, dan aib yang selalu tertutup) ini
sebagai tanda kebahagiaan dan keberhasilan. Sampai disitulah rupanya ilmu
mereka ......
Ibnul Qayyim melanjutkan : ....
semua kekuatan, baik yang nampak maupun yang batin, jika diiringi dengan
pelaksanaan perintah Allah dan apa yang diridhai Allah, maka hal itu sebagai
karunia Allah. Jika tidak demikian, maka kekuatan tersebut merupakan bencana.
Setiap keadaan yang dimanfaatkan
untuk menolong agama Allah dan berdakwah di jalanNya, maka hal itu merupakan
karunia Allah. Jika tidak, maka hanyalah merupakan bencana.
Setiap harta yang disertai dengan
berinfaq di jalan Allah, bukan untuk mengharapkan ganjaran dan terima kasih
dari manusia, maka ia merupakan karunia Allah. Jika tidak demikian, maka harta
itu hanyalah bumerang baginya ....
Dan setiap sikap manusia yang
menerima dirinya dan pengagunggan serta kecintaan mereka padanya, jika disertai
dengan rasa tunduk, rendah dan hina di hadapan Allah, demikian juga disertai
pengenalannya terhadap aib dirinya dan kekurangan amalannya, dan usahanya
menasihati manusia, maka hal ini adalah karunia Allah. Jika tidak demikian,
maka hanyalah bencana.
Oleh karena itu, hendaknya
seorang hamba mengamati point yang sangat penting dan berbahaya ini, agar bisa
membedakan antara karunia dan bencana, anugerah dan bumerang baginya, karena
betapa banyak ahli ibadah dan berakhlak mulia yang salah paham dan rancu dalam
memahami pembahasan ini.
Ketahuilah, termasuk kesempurnaan
muhasabah, yaitu engkau mengetahui, bahwa setiap celaanmu kepada saudaramu yang
berbuat maksiat atau aib, maka akan kembali kepadamu. Diriwayatkan dari Rasulullah
bahwa beliau bersabda :
مَنْ عَيَّرَ أَخَاهُ بِذَنْبٍ لَمْ يَمُتْ حَتَّى يَعْمَلَهُ
Barangsiapa yang mencela
saudaranya karena dosanya (kemaksiatannya), maka dia tidak akan mati hingga dia
melakukan kemaksiatan tersebut.
Dalam menafsirkan hadits ini,
Imam Ahmad berkata : “Yaitu (mencelanya karena) dosa (maksiat), yang ia telah
bertaubat darinya”.
Ibnul Qayyim berkata: Dan juga
pada celaan yang dibarengi rasa gembira si pencela dengan jatuhnya orang yang
dicela dalam kesalahan. Imam At Tirmidzi meriwayatkan juga -secara marfu’-
bahwasanya Rasulullah bersabda,’Janganlah engkau menampakkan kegembiraan atas
bencana yang menimpa saudaramu, sehingga Allah merahmati saudaramu dan
mendatangkan bencana bagimu’.”
Dan mungkin juga, maksud Nabi
bahwa dosa celaanmu terhadap saudaramu lebih besar dari dosa saudaramu itu dan
lebih parah dari maksiat yang dilakukannya itu. Karena celaanmu itu menunjukan
tazkyiatun nafs (memuji diri sendiri) dan mengklaim, bahwa engkau selalu di
atas ketaatan dan telah berlepas diri dari dosa, dan saudaramulah yang membawa
dosa tersebut.
Maka bisa jadi, penyesalan
saudaramu karena dosanya tersebut dan akibat yang timbul setelah itu, berupa
rasa tunduk dan rendah serta penghinaan terhadap jiwanya, dan terlepasnya dia
dari penyakit pengakuan sucinya diri, rasa sombong dan ujub, serta berdirinya
dia di hadapan Allah dalam keadaan menunduk dengan hati yang pasrah, lebih
bermanfaat baginya dan lebih baik dibandingkan dengan pengakuanmu bahwa engkau
selalu berada di atas ketaatan kepada Allah dan engkau menganggap diri banyak
melakukan ketaatan kepada Allah. Bahkan engkau merasa telah memberi sumbangsih
kepada Allah dan kepada makhluk-makhlukNya dengan ketaatanmu tersebut. Sungguh
saudaramu -yang telah melakukan kemaksiatan- (lebih) dekat kepada rahmat Allah.
Dan betapa jauh orang yang ‘ujub dan merasa memberi sumbangsih dengan amal
ketaatannya karena kemurkaan Allah.
Dosa yang mengantarkan pelakunya
merasa hina di hadapan Allah lebih disukai Allah, daripada amal ketaatan yang
mengantarkan pelakunya merasa ‘ujub. Sesungguhnya jika engkau tertidur pada
malam hari (tidak melaksanakan shalat malam), kemudian pada pagi hari engkau
menyesal, lebih baik dari pada jika engkau shalat malam kemudian pada pagi hari
engkau merasa ‘ujub kepada diri sendiri, karena sesungguhnya orang yang ‘ujub,
amalnya tidak naik kepada Allah. Engkau tertawa, sembari mengakui (kesalahan
dan kekuranganmu itu) lebih baik dari pada engkau menangis, namun engkau merasa
‘ujub.
Rintihan orang yang berdosa lebih
disukai di sisi Allah dibanding suara dzikir orang yang bertasbih namun ‘ujub.
Bisa jadi, dengan sebab dosa yang dilakukan oleh saudaramu, Allah memberikan
obat kepadanya dan mencabut penyakit yang membunuh dirinya, padahal penyakit
itu ada pada dirimu dan engkau tidak merasakannya.
Allah memiliki rahasia dan hikmah
atas hamba-hambanya yang taat dan yang bermaksiat, tidak ada yang mengetahuinya
kecuali Dia. Para ulama dan orang-orang bijak tidak mengerti rahasia itu,
kecuali hanya sekedar yang bisa diperkirakan dan ditangkap oleh panca indra
manusia. Namun di balik itu, ada rahasia Allah yang tidak diketahui, bahkan
oleh para malaikat pencatat amal.
Rasulullah telah bersabda :
إِذَا زَنَتْ أَمَةُ أَحَدِكُمْ فَلْيُقِمْ عَلَيْهَا الْحَدُّ وَلاَ
يُثَرِّبْ
(Jika budak wanita milik salah
seorang dari kalian berzina, maka tegakkanlah hukuman had baginya dan janganlah
mencelanya)[26] karena sesungguhnya, penilaian adalah di sisi Allah dan hukum
adalah milikNya. Dan tujuannya ialah menegakkan hukuman had pada budak wanita
tersebut, bukan mencelanya.
Allah telah berkata tentang
makhluk yang paling mengetahuiNya dan yang paling dekat denganNya (yaitu
Rasulullah): “Dan kalau Kami tidak memperkuat (hati)mu, niscaya engkau
hampir-hampir condong sedikit kepada mereka (orang-orang kafir)”. (Al Isra` :
74). Nabi Yusuf telah berkata,”... Dan jika tidak Engkau hindarkan tipu daya mereka
dariku, tentu aku akan cenderung untuk (memenuhi keinginan mereka) dan tentulah
aku termasuk orang-orang yang bodoh.” (Yusuf : 33).
Nabi paling sering bersumpah
dengan berkata لاَ وَمُقَلِّبِ الْقُلُوْبِ (demi Dzat yang membolak-balikan hati
manusia). Beliau bersabda,”Tidak satu hati manusia pun, melainkan ia
berada di antara dua jari dari jari-jemari Allah. Jika Allah kehendaki, (maka)
Allah akan memberi petunjuk kepadanya. Dan jika Allah kehendaki, maka Allah
akan menyesatkannya,” kemudian Beliau berdoa :
اللَّهُمَّ مُقَلِّبَ الْقُلُوْبِ ثَبِّتْ قُلُوْبَنَا عَلَى دِيْنِكَ
Wahai Dzat yang membolak-balikan
hati manusia, tetapkanlah hati kami di atas jalanMu.
اللَّهُمَّ مُصَّرِّفَ الْقُلُوْبِ صَرِّفْ قُلُوْبَنَا عَلَى طَاعَتِكَ
Wahai Dzat yang
memaling-malingkan hati manusia, palingkanlah hati kami untuk taat kepadaMu.
Ibnu Rajab berkata,”Barangsiapa yang pada
bulan Ramadhan ini tidak beruntung, maka kapan lagi dia bisa beruntung?
Barangsiapa yang pada bulan suci ini tidak bisa mendekatkan dirinya kepada
Allah, maka sungguh dia sangat merugi.”
Jadilah kita seperti kupu-kupu
yang menyenangkan dan indah jika dipandang, serta bermanfaat bagi perkawinan di
antara tanaman, padahal sebelumnya adalah seekor ulat yang merusak dedaunan dan
merupakan hama tanaman. Namun setelah berpuasa beberapa saat dalam
kepompongnya, berubahlah ulat tersebut menjadi kupu-kupu yang indah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar