ASAL PENSYARI’ATAN
KURBAN
Oleh: Dr Abdullah bin
Muhammad Ath-Thayyar
عَنْ أَبِـيْ مَالِكٍ الْـحَارِثِ بْنِ عَاصِمٍ الأَشْعَرِيِّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ ، قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّـى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اَلطُّهُوْرُ شَطْرُ الإِيْـمَـانِ ، وَالْـحَمْدُ لِله تَـمْلأُ الْـمِيْزَانَ ، وَسُبْحَانَ اللهِ وَالْـحَمْدُ للهِ تَـمْلأنِ أَوْ تَـمْلأُ مَا بَيْنَ السَّمَـاءِ وَالأَرْضِ ، وَالصَّلاَةُ نُوْرٌ ، وَالصَّد قَةُ بُرْهَانٌ ، وَالصَّبْرُ ضِيَاءٌ ، وَالْقُرْآنُ حُـجَّةٌ لَكَ أَوْ عَلَيْكَ ، كُلُّ النَّاسِ يَغْدُوْ : فَبَائِعٌ نَفْسَهُ فَمُعْتِقُهَا أَوْ مُوْبِقُهَا». رَوَاهُ مُسْلِمٌ
Dari Abu Mâlik al-Hârits bin ‘Ashim al-Asy’ari Radhiyallahu anhu ,ia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Bersuci adalah sebagian iman, alhamdulillâh (segala puji bagi Allah Azza wa Jalla) memenuhi timbangan. Subhânallâh (Maha suci Allah Azza wa Jalla) dan alhamdulillâh (segala puji bagi Allah Azza wa Jalla) keduanya memenuhi antara langit dan bumi; shalat adalah cahaya; sedekah adalah petunjuk; sabar adalah sinar, dan al-Qur`ân adalah hujjah bagimu. Setiap manusia melakukan perbuatan: ada yang menjual dirinya kemudian memerdekakannya atau membinasakannya.” Diriwayatkan oleh Muslim.
AL-UDH-HIYAH (Kurban)
Kurban disyari’atkan
pada hari raya Adh-ha dan hari-hari Tasyriq. Kurban adalah ibadah agung yang
menampakkan sifat penghambaan yang ikhlas karena Allah, karena seorang muslim
mendekatkan diri kepada Allah dengan menumpahkan darah binatang ternak secara
syari’at.
Definisi dan Sebab
Penamaannya
Al-Udh-hiyah Secara
Bahasa
Al-udh-hiyah,
didhamahkan huruf hamzahnya dan dikasrahkan serta tidak ditasydid huruf ya’-nya
dan ditasydid. Bentuk jamaknya adalah adhaa-hi (أَضَاحِيْ )
dan adhaahiyy ( أَضَاحِيّ).
Juga bisa dikatakan dhahiyah ( ضَحِيَة) dengan difathahkan huruf Dhadnya dan dikasrahkan, bentuk
jama’nya adalah dhahaaya (ضَحَايَا). Juga boleh dikatakan adhhaah ( أَضْحَاة)
dengan difathahkan huruf hamzahnya dan dikasrahkan dan bentuk jamaknya adalah
adhhaa ( أَضْحًى)
dengan ditanwinkan seperti arthaa ( أَرْطَى) jamak dari arthaah [1] ( أَرْطَاة).
Al-udh-hiyah Secara Istilah
Al-udh-hiyah Secara Istilah
Udh-hiyah adalah
binatang ternak yang disembelih di hari raya kurban sampai akhir hari Tasyriq
untuk mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala.
Sebab Penamaannya
Ada yang mengatakan,
kata ini diambil dari kata (الضَحْوَة
); dinamakan demikian karena dilakukan diawal waktu
pelaksanaannya, yaitu waktu Dhuha dan dengan sebab ini hari tersebut dinamakan
hari raya al-Adh-ha. [2]
Asal Pensyari’atannya
Kurban disyariatkan
berdasarkan dalil Al-Qur’an, As-Sunnah dan Ijma’
Dari Al-Qur’an adalah firman Allah Ta’ala
Dari Al-Qur’an adalah firman Allah Ta’ala
فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ
“Maka dirikanlah
shalat karena Rabb-mu, dan berkurbanlah” [Al-Kautsar : 2]
Ibnu Katsir Rahimahullah dan selainnya berkata, “Yang benar bahwa yang dimaksud dengan an-nadr adalah menyembelih kurban, yaitu menyembelih unta dan sejenisnya” [3]
Sedangkan dari sunnah adalah perbuatan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang diriwayatkan oleh Anas Radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Ibnu Katsir Rahimahullah dan selainnya berkata, “Yang benar bahwa yang dimaksud dengan an-nadr adalah menyembelih kurban, yaitu menyembelih unta dan sejenisnya” [3]
Sedangkan dari sunnah adalah perbuatan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang diriwayatkan oleh Anas Radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
كَانَ يُضَحِّيْ بِكَبْشَيْنِ أَقْرَنَيْنِ أَمْلَحَيْنِ وَكَانَ يُسَمِّيْ وَيُكَبِّرُ.
“Beliau menyembelih
dua ekor kambing bertanduk dan gemuk dan beliau membaca basmalah dan bertakbir”
[4]
Demikian juga hadits
dari Al-Barra bin Azib Radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata :
لاَ يُضَحِّيَنَّ أَحَدٌ حَتَّى يُصَلِّيَ،
فَـقَالَ رَجُلٌ: خَطَبَنَا رَسُولُ اللهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ فِي يَوْمِ النَّحْرِ، فَقَالَ
عِنْدِي عَنَاقُ لَبَنٍ هِيَ خَيْرٌ مِنْ شَاتَيْ لَحْمٍ، فَضَحِّ بِهَا وَلاَ تَجْزِي جَذَعَةٌ عَنْ أَحَدٍ بَعْدَكَ : قَال
عِنْدِي عَنَاقُ لَبَنٍ هِيَ خَيْرٌ مِنْ شَاتَيْ لَحْمٍ، فَضَحِّ بِهَا وَلاَ تَجْزِي جَذَعَةٌ عَنْ أَحَدٍ بَعْدَكَ : قَال
“Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkhutbah kepada kami di hari raya kurban, lalu
beliau berkata, ‘Janganlah seorang pun (dari kalian) menyembelih sampai di
selesaikannya shalat. Seseorang berkata, ‘Aku memiliki inaq laban, ia lebih
baik dari dua ekor kambing pedaging’. Beliau berkata, ‘Silahkan disembelih dan
tidak sah jadz’ah dari seorang setelahmu” [5]
Dan dari ijma’ adalah
apa yang telah menjadi ketetapan ijma’ (kesepakatan) kaum muslimin dari zaman
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai sekarang tentang pensyari’atan
kurban, dan tidak ada satu nukilan dari seorang pun yang menyelisihi hal itu.
Dan sandaran ijma’ tersebut adalah Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Ibnu Qudamah
Rahimahullah mengatakan dalam Al-Mughni, ‘Kaum muslimin telah sepakat tentang
pensyariatan kurban [6]. Sedangkan Ibnu Hajar Rahimahullah mengatakan, “Dan
tidak ada perselisihan pendapat bahwa kurban itu termasuk syi’ar-syi’ar agama
[7].
HIKMAH PENSYARIATAN
KURBAN
Allah Subhanahu wa
Ta’ala mensyariatkan kurban untuk mewujudkan hikmah-hikmah berikut.
1. Mencontoh bapak kita Nabi Ibrahim “Alaihissalam yang diperintahkan agar menyembelih buah hatinya (anaknya), lalau ia meyakini kebenaran mimpinya dan melaksanakannya serta membaringkan anaknya di atas pelipisnya, maka Allah memanggilnmya dan menggantikannya dengan sembelihan yang besar. Mahabenar Allah Yang Mahaagung, ketika berfirman.
1. Mencontoh bapak kita Nabi Ibrahim “Alaihissalam yang diperintahkan agar menyembelih buah hatinya (anaknya), lalau ia meyakini kebenaran mimpinya dan melaksanakannya serta membaringkan anaknya di atas pelipisnya, maka Allah memanggilnmya dan menggantikannya dengan sembelihan yang besar. Mahabenar Allah Yang Mahaagung, ketika berfirman.
فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ السَّعْيَ قَالَ يَا
بُنَيَّ إِنِّي أَرَىٰ فِي الْمَنَامِ أَنِّي أَذْبَحُكَ فَانظُرْ مَاذَا تَرَىٰ ۚ
قَالَ يَا أَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُ ۖ سَتَجِدُنِي إِن شَاءَ اللَّهُ مِنَ
الصَّابِرِينَ فَلَمَّا أَسْلَمَا وَتَلَّهُ لِلْجَبِينِ وَنَادَيْنَاهُ أَن يَا
إِبْرَاهِيمُ قَدْ صَدَّقْتَ الرُّؤْيَا ۚ إِنَّا كَذَٰلِكَ نَجْزِي
الْمُحْسِنِينَ إِنَّ هَٰذَا لَهُوَ الْبَلَاءُ الْمُبِينُوَفَدَيْنَاهُ بِذِبْحٍ
عَظِيمٍ
“Maka tatkala anak
itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata,
‘Hai anakku, sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu, maka
fikirkanlah apa pendapatmu!’ Ia menjawab, ‘Hai ayahku, kerjakanlah apa yang diperintahkan
kepadamu, insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar’.
Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya di atas
pelipis(nya), (nyatalah kesabaran keduanya). Dan Kami panggillah dia, ‘Hai
Ibrahim, sesungguhnya kamu telah mebenarkan mimpi itu’, sesungguhnya
demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik.
Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata. Dan Kami tebus anak itu
dengan seekor sembelihan yang besar” [Ash-Shaaffaat : 102-107]
Dalam penyembelihan
kurban terdapat upaya menghidupkan sunnah ini dan menyembelih sesuatu dari
pemberian Allah kepada manusia sebagai ungkapan rasa syukur kepada Pemilik dan
Pemberi kenikmatan. Syukur yang tertinggi adalah kemurnian ketaatan dengan
mengerjakan seluruh perintahNya.
2. Mencukupkan orang
lain di hari ‘Id, karena ketika seorang muslim menyembelih kurbannya, maka ia
telah mencukupi diri dan keluarganya, dan ketika ia menghadiahkan sebagiannya
untuk teman dan tetangga dan kerabatnya, maka dia telah mencukupi mereka, serta
ketika ia bershadaqah dengan sebagiannya kepada para fakir miskin dan orang
yang membtuhkannya, maka ia telah mencukupi mereka dari meminta-minta pada hari
yang menjadi hari bahagia dan senang tersebut.
HUKUM BERKURBAN
Para ulama berbeda
pendapat tentang hukum kurban menjadi beberapa pendapat, yang paling masyhur
ada dua pendapat, yaitu.
Pendapat Pertama :
Hukum kurban adalah sunnah mu’akkadah, pelakunya mendapat pahala dan yang
meninggalkannya tidak berdosa. Inilah pendapat mayoritas ulama salaf dan yang
setelah mereka.
Pendapat Kedua :
Hukum kurban adalah wajib secara syar’i atas muslim yang mampu dan tidak
musafir, dan berdosa jika tidak berkurban. Inilah pendapat Abu Hanifah dan
selainnya dari para ulama.
Setiap pendapat ini
berdalil dengan dalil yang telah dipaparkan dalam kitab-kitab madzhab. Pendapat
yang menenangkan jiwa dan didukung dengan dalil-dalil kuat dalam pandangan saya
bahwa hukum kurban adalah sunnah mu’akkadah, tidak wajib.
Ibnu Hazm
Rahimahullah berkata, “Kurban hukumnya sunnah hasanah, tidak wajib. Barangsiapa
meninggalkannya tanpa kebencian terhadapnya, maka tidaklah berdosa [8]
Sedangkan Imam
An-Nawawi Rahimahullah mengatakan, “Para ulama berbeda pendapat tentang
kewajiban kurban atas orang yang mampu. Sebagian besar ulama berpendapat bahwa
kurban itu sunnah bagi orang yang mampu, jika tidak melakukannya tanpa udzur,
maka ia tidak berdosa dan tidak harus mengqadha’nya. Ada juga pendapat yang
mengatakan bahwa kurban itu wajib atas orang yang mampu. [9]
[Disalin dari kitab
Ahkaamul Iidain wa Asyri Dzil Hijjah, Penulis Dr Abdullah bin Muhammad bin
Ahmad Ath-Thayyar]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar